laboratorium inspirasi psikologi kesehatan & seksualitas cinta

Psikologi Terapan

Pernahkah kau lihat psikolog atau profesor psikologi sakit jiwa? Aku pernah lihat beberapa kali. Tapi, itu di dunia fiksi: di beberapa novel atau film. Di dunia nyata, aku lupa, tuh.

Begitulah mungkin nasib orang tua. Dari hari ke hari, semakin banyak yang terlupakan. Semakin sedikit yang masih teringat.

Yang masih kuingat, tak sedikit orang yang mengata-ngatai aku sinting. Kebanyakan hanya membicarakannya di belakang punggungku. Tapi, ada pula yang berani ngomong gitu di depan wajahku.

Diantara yang berani berkata begitu di depan hidungku ialah anak-anak kami. Dua orang anak, lelaki-perempuan sama saja. (Kampanye KB, hehe...)

Contohnya, si lelaki bungsu berkata, kasihan mamanya yang ke sana ke sini tak pernah diantar suami. Waktuku habis tersita untuk menghangatkan jidat di depan layar komputer. Kata si bungsu itu, komputer adalah istri mudaku. Dan dia sering mengolok-olokku karena itu. Aku lebih sayang ke istri muda, katanya.

Digoda 'gitu, aku cuma bisa nyengir. Mau 'gimana, coba? Positive thinking sajalah. Toh sindirannya belum seberapa dibanding si sulung.

Kakaknya, si perempuan sulung, lebih piawai dalam menyudutkanku dan membuatku merasa bersalah. Kemarin lusa dia kirim SMS ke mamanya, "Ma, bilang ayah. Kuminta uang sejuta bukan buat piknik. Ada temanku sakit muntaber. Kasian. Kluarganya miskin."

Kemarin, saat tahu bahwa aku sedang menyibukkan diri dalam mengurusi proyek kuliah gratisan di dunia maya, Kuliah Profesor Idiot ini, si sulung itu pun memprotes keras diriku. Dia bilang langsung kepadaku, "Kata mama, ayah pintar. Kok gak pandai cari uang? Pintarnya dipakai buat cari uang, dong. Kan kalo punya uang banyak, bisa bantu orang banyak!"

Waduh. [....] Nyengir pun aku sudah tak mampu. Skak mat, rasanya.

Bagaimanapun, anak-anakku itu sudah begitu baik kepadaku. Mereka tidak banyak menuntutku. Tak kuasa diriku untuk mengharap lebih dari mereka. Kupikir, tak perlu kujelaskan kepada mereka mengapa kupilih jalan yang gila ini.

Mengapa Pelajari Psikologi Terapan

Aku merasa sudah tua-renta. Sisa umurku mungkin takkan sepanjang yang kuharap. Dalam waktu yang amat terbatas ini, kurasa ilmu yang akan kudapat dari belajar lagi secara "amatir" ini akan jauh lebih bermanfaat daripada uang yang mungkin bisa kuperoleh bila aku bekerja "profesional" layaknya orang-orang normal. Iya, nggak?

Iya, dong! Sudah terlalu banyak orang saling berebut uang. Medannya sempit; persaingannya sengit. Menurut perhitungan kasarku, kecil sekali kemungkinan sukses bagi orang-orang yang segila diriku untuk mencetak laba sebanyak-banyaknya.

Sementara itu, masih sedikit sekali orang saling berebut ilmu. Medannya luas; persaingannya tiada. Menurut akal bulusku, besar sekali peluang mencerdaskan diri sejenius-jeniusnya di era internet ini.

Masalahnya, kita cenderung lebih menghargai sesuatu yang kita capai dengan ongkos mahal. Kita cenderung lebih serius belajar di kursi kampus seharga ratusan juta rupiah per semester daripada di kursi internet seharga seratus ribu rupiah per bulan.

Lantas, mengapa aku berkeyakinan bahwa pembelajaranku di laboratorium kuliah Profesor Idiot yang serba GRATIS ini "akan jauh lebih bermanfaat"? Apakah aku sudah gila dan akan semakin gila?

Ya! Tak kusangkal kabar angin bahwa aku berotak miring. Sudah idiot, abnormal pula.

Tapi, aku telah siap mental untuk menjalani normalisasi. Kalau memang aku gila, toh ada jalan keluarnya. Aku bisa menempuh jalan terapi diri. Sampai sewaras malaikat, kalau bisa.

Dalam rangka itu, aku mau bersamamu mempelajari materi-materi kuliah jurusan Psikologi Kesehatan disamping jurusan-jurusan lainnya. (Lihat halaman Informasi.) Matakuliah pertama kita: Pengantar Psikologi Terapan.

Referensi Wajib Matakuliah Pengantar Psikologi Terapan

  • Weiten - Dunn - Hammer, Psychology Applied to Modern Life: Adjustment in the 21st Century, 10th Edition (Cengage Learning, 2012) atau edisi yang lebih baru

Sistematika Kuliah Pengantar Psikologi Terapan

Sebagai pasien yang baik dan benar, aku akan patuh mengikuti jejak buku kuliah (textbook) tersebut. Namun selaku Profesor Idiot, aku belum bisa meramalkan sudutpandang apa saja yang akan kugunakan dari waktu ke waktu. Bola itu bundar. Segala kemungkinan bisa terjadi terhadap sistematika kuliah kita.

Salam idiot,
Musa Mustika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar