UANG DAN BAHAGIA ; Apa hubungannya ?
Bahagia
Pada satu kesempatan seorang motivator menyatakan, " Bahwa memiliki uang yang banyak tidak menjamin Anda hidup bahagia."
Lalu saya dengan bergurau menimpali, " kalo banyak uang aja gak bikin bahagia apalagi gak banyak uang."
Tapi apakah sebenarnya bahagia atau kebahagiaan ? Oxford Dictionary memberi penjelasan bahagia sebagai merasakan atau menujukkan kesenangan atau kepuasan (Feeling or showing pleasure or contentment) dan Wikipedia Ecyclopedia menandai bahagia sebagai kondisi mental atau jiwa pada keadaan sejahtera yang ditandai dengan emosi positif atau rasa nyaman antara rasa puas dan rasa gembira (a mental or emotional state of well-being characterized by positive or pleasant emotions ranging from contentment to intense joy.). Keduanya memberi pengertian bahwa bahagai adalah menyukai apa yang ada pada kehidupan diri seseorang. Dan di jaman modern yang bergerak cepat dimana umumnya orang menderita oleh tekanan hidup yang memunculkan kecemasan, ketidak pastian juga perasaan terasing, apa yang sebenarnya bisa mengurangi beban itu, alih - alih mencapai rasa bahagia ?
Apa yang sebenaranya memberi kebahagian sudah lama menarik perhatian yang kemudian memunculkan berbagai pernyataan dan asumsi terkait dengan apa itu bahagia, semisal ; kebahagiaan tidak bersumber pada uang ; Kesehatan adalah segala – galanya ; menjadi orang tau bagi anak – anak adalah sumber kebahagiaan; menjalani hidup dengan "nrimo ing pandum" adalah kunci bahagia. Berbagai Hipotesa dan apa yang dikira orang akan memberi kebahagiaan telah diuji kebenarannya, melawati pengujian empiris ; beberapa penelitian mencoba mempelajari dan mengukur sejauh mana faktor – faktor ini mempengaruhi rasa bahagia dan kepuasan hidup seseorang.
Yang pertama Uang. Adakah hubungan positif antara
kepemilikan uang dengan rasa bahagia ? ; Benarkah orang bisa berbahagia tanpa uang ? Benarkah semakin banyak uang orang semakin bahagia atau semakin tidak bahagia ? Berikut adalah fakta empirisnya. Memiliki uang memang ada hubungannya dengan rasa bahagia, tapi indeks korelasinya sangat lemah (Diener & Seligman,2004). Salah satu studi mendapatkan korelasi antara
kekayaan dengan kebahagiaan yang hanya 0,13 (Diener et al., 1993), bahkan studi
terbaru mencapai angka 0,12 (Johnson & Krueger, 2006). Kita bisa melihat orang miskin yang hidup menggelandang, hidup di lingkungan kumuh, tanpa sanitasi yang memadai, nutrisi tidak mencukupi standar higiens menampakkan ekspresi ketidak bahagiaan, ya orang miskin merasa tidak bahagia adalah fakta (diukur dengan indikator apapun), tapi begitu mereka naik tingkatnya
diatas ukuran kemiskinan, pengaruh uang (kekayaan) terlihat sangat kecil ; memeperoleh uang Rp. 100 ribu bagi seorang gelandangan yang belum makan seharian akan memberi rasa senang yang tingkatnya lebih tinggi dibanding dengan uang yang sama yang diterima oleh guru les privat misalnya. Ini karena persepsi seseorang terhadap
kemakmuran tidak berhubungan dengan apa yang dia peroleh (miliki). Sebuah
survey terbaru (Johnson & Krueger, 2006) menunjukkan bahwa korelasi antara jumlah uang yang dimiliki terhadap
perasaan (persepsi) makmur_merasa
cukup punya uang untuk membeli yang dibutuhkan_ korelasinya sangat kecil (hanya
sekitar 0,3).
Terkait dengan uang, hal lainnya menununjukkan bahwa kecenderungan konsumsi yang begitu rakus seperti saat ini, peningkatan penghasilan berarati peningkatan gairah mengkonsumsi (membeli) (Frey & Stutzer, 2002; Kasseret al., 2004). Dan ketika hasrat itu tak terpenuhi, yang diimpikan tak terjangkau kantong ; kekecewaan adalah bayarannya (Solberg et al., 2002). Makanya jangan heran kalo kemarin - kemarin Anda datang ke saudara, teman yang Anda pikir kaya raya dan banyak duit karena penghasilannya yang mencapai 8 - 9 digit, tapi mengeluh bahwa dia sendiri lagi banyak utang.. Dan yang menarik, ada beberapa bukti bahwa orang yang sangat menekankan tujuan hidupnya dengan capaian materi cenderung kurang bahagia hidupnya (Kasser,2002; Van Boven, 2005). Tiap malam Anda disuguhi fakta - fakta seperti itu khan; profesional, selebriti, birokrat yang hidupnya diselimuti kemewahan materi masih juga terjatuh ke obat bius, penyelewengan jabatan, konflik keluarga yang memalukan yang semuanya mengindiskasikan ketidak puasan atas capaian mereka. Mungkin karena hidupnya yang terlalu fokus pada keuangan hingga mereka tak mendapatkan kepuasan hidup dari aspek lainnya (Nickerson et al, 2003). Sejalan dengan kenyataan itu, sebuah study (Kahneman et al., 2006) menemukan bahwa penghasilan tinggi yang berarti berkurangnya waktu untuk relaks dan rekreasi; bayangkan apa yang dirasakan pegawai yang bisa bercengkerama dengan anak istri dan tetangga di suatu senja dengan karyawan atau eksekutif yang masih harus menghadapi tumpukan berkas - berkas, janji, agenda belum lagi ancaman macet jalan di bawah kantornya. *
Bagimana pendapat Anda ?
*disarikan dari Adjusting to Modern Life oleh Wayne Weiten, Dana S. Dunn, and
Elizabeth Yost Hammer, bab 1,
Terkait dengan uang, hal lainnya menununjukkan bahwa kecenderungan konsumsi yang begitu rakus seperti saat ini, peningkatan penghasilan berarati peningkatan gairah mengkonsumsi (membeli) (Frey & Stutzer, 2002; Kasseret al., 2004). Dan ketika hasrat itu tak terpenuhi, yang diimpikan tak terjangkau kantong ; kekecewaan adalah bayarannya (Solberg et al., 2002). Makanya jangan heran kalo kemarin - kemarin Anda datang ke saudara, teman yang Anda pikir kaya raya dan banyak duit karena penghasilannya yang mencapai 8 - 9 digit, tapi mengeluh bahwa dia sendiri lagi banyak utang.. Dan yang menarik, ada beberapa bukti bahwa orang yang sangat menekankan tujuan hidupnya dengan capaian materi cenderung kurang bahagia hidupnya (Kasser,2002; Van Boven, 2005). Tiap malam Anda disuguhi fakta - fakta seperti itu khan; profesional, selebriti, birokrat yang hidupnya diselimuti kemewahan materi masih juga terjatuh ke obat bius, penyelewengan jabatan, konflik keluarga yang memalukan yang semuanya mengindiskasikan ketidak puasan atas capaian mereka. Mungkin karena hidupnya yang terlalu fokus pada keuangan hingga mereka tak mendapatkan kepuasan hidup dari aspek lainnya (Nickerson et al, 2003). Sejalan dengan kenyataan itu, sebuah study (Kahneman et al., 2006) menemukan bahwa penghasilan tinggi yang berarti berkurangnya waktu untuk relaks dan rekreasi; bayangkan apa yang dirasakan pegawai yang bisa bercengkerama dengan anak istri dan tetangga di suatu senja dengan karyawan atau eksekutif yang masih harus menghadapi tumpukan berkas - berkas, janji, agenda belum lagi ancaman macet jalan di bawah kantornya. *
Bagimana pendapat Anda ?
*disarikan dari Adjusting to Modern Life oleh Wayne Weiten, Dana S. Dunn, and
Elizabeth Yost Hammer, bab 1,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar