laboratorium inspirasi psikologi kesehatan & seksualitas cinta

Maju tapi Mundur: Kontradiksi Kehidupan Modern

gambar Kontradiksi Kehidupan Modern

Kita adalah anak teknologi. Kita mengalami kecanggihan teknologi yang mengesankan, termasuk pengangkutan 300 orang sejauh ribuan kilometer dalam beberapa jam saja. Masyarakat kita yang modern memang telah mengayunkan langkah yang dahsyat dalam hal transportasi, energi, komunikasi, pertanian, dan kedokteran.

Sungguhpun demikian, kita hidup dalam suatu masa yang gerak majunya tidak searah. Walau kita alami kemajuan teknologi, masalah-masalah sosial dan kesulitan-kesulitan pribadi tampaknya lebih merata dan lebih menonjol daripada masa-masa terdahulu. Paradoks ini tampak jelas dalam banyak segi kehidupan masa kini, sebagaimana terlihat dalam contoh-contoh berikut ini.

[Menghemat Waktu:] Maju

Teknologi modern memberi kita peralatan penghemat-waktu yang tak terhitung banyaknya. Mobil, telepon, pengisap debu, pencuci piring, mesin fotokopi, dan komputer pribadi semuanya menghemat waktu. Kini, telepon seluler dengan headset (perangkat kepala) memungkinkan orang-orang untuk berbicara dengan teman atau rekan sambil menyibukkan diri dalam pekerjaan. Sementara itu, dalam beberapa detik saja, komputer pribadi dapat melakukan penghitungan yang akan berlangsung berbulan-bulan apabila kita mengerjakannya sendiri.

gambar kekurangan waktu

[Kekurangan Waktu:] Mundur

Akan tetapi, sebagian besar dari kita mengeluh tidak punya cukup waktu. Jadwal kita dipenuhi dengan rencana-rencana, janji-janji, dan tugas-tugas. Penelitian-penelitian survei menunjukkan bahwa mayoritas dari orang-orang merasa secara subyektif bahwa mereka sendiri kekurangan dan semakin kekurangan waktu.

Masalahnya, diantaranya, adalah bahwa dalam masyarakat kita yang modern, orang-orang membawa pulang pekerjaan mereka. Karena itu, "Para warga masyarakat itu merasa tertambat siang-malam pada pekerjaan mereka oleh alat-alat nomadik yang sama--telepon seluler atau pun surel nirkabel--yang semula digembar-gemborkan sebagai instrumen pembebasan."1

Dalam berpacu melawan waktu, semakin banyak orang memangkas tidur mereka ketika mereka berupaya menyiasati tanggung-jawab pekerjaan, keluarga, dan rumahtangga. Para pakar masalah tidur memperkirakan bahwa masyarakat modern menderita wabah berupa kurang tidur.2 Sayangnya, penelitian menunjukkan bahwa kekurangan tidur yang kronis itu dapat berdampak negatif secara signifikan terhadap peran sehari-hari individu-individu, disamping terhadap kesehatan mental dan fisik mereka.3

[Banyak Pilihan:] Maju

Rentang pilihan kehidupan yang tersedia bagi orang-orang di masyarakat modern semakin meningkat secara deret-ukur pada beberapa dasawarsa terkini. Untuk contoh, Barry Schwartz memaparkan bagaimana suatu kunjungan yang sederhana ke sebuah supermarket lokal dapat mengharuskan seorang pelanggan untuk memilih dari 285 macam kue, 61 macam minyak gosok untuk berjemur, 150 macam lipstik, dan 175 macam bumbu kuah selada. Walau meningkatnya pilihan itu tampak paling mencolok di bidang konsumsi barang dan jasa, Schwartz berpendapat bahwa meningkatnya pilihan itu meluas sampai ke ranah-ranah kehidupan yang lebih bermakna.4

Kini, orang-orang cenderung memiliki peluang-peluang baru untuk menentukan pilihan-pilihan mengenai bagaimana mereka akan terdidik (tersedia kurikulum perguruan tinggi yang jauh lebih fleksibel, belum lagi sistem penyampaian online), bagaimana dan di mana mereka akan bekerja (ulang-alik jarak jauh menghadirkan segala jenis pilihan baru bagi para pekerja mengenai bagaimana menuntaskan tugas pekerjaan mereka), bagaimana hubungan-hubungan intim mereka akan berkembang (orang-orang semakin bebas untuk menunda pernikahan, tinggal bersama, tidak punya anak, dan sebagainya), dan bahkan bagaimana mereka berpenampilan (kemajuan bedah plastik telah menjadikan penampilan pribadi sebagai urusan pilihan).

[Bingung Memilih:] Mundur

Walau meningkatnya pilihan itu terdengar menarik, penelitian mutakhir menyiratkan bahwa terlampau berlimpahnya pilihan itu memakan ongkos-ongkos yang tak terduga. Penelitian-penelitian menyiratkan bahwa bila orang-orang memiliki terlalu banyak pilihan, mereka mengalami "kelebihan-beban pilihan" (choice overload) dan bersusah-payah di seputar pilihan.5 Dilema-dilema keputusan dapat menguras sumberdaya-sumberdaya mental dan mengikis pengendalian-diri.6

gambar kelebihan-beban pilihan

Bahkan, Schwartz berargumentasi bahwa bila keputusan-keputusan menjadi lebih rumit, maka kekeliruan-kekeliruan lebih mungkin terjadi. Ia pun menjelaskan bagaimana kepemilikan alternatif yang lebih banyak itu meningkatkan kemungkinan untuk pengingatan masa lalu, penyesalan pascakeputusan, dan penyesalan yang terduga. Akhirnya, argumentasinya, rasa tidak-enak-badan yang terkait dengan "kelebihan-beban pilihan" itu merongrong kebahagiaan individu dan turut menyebabkan depresi.7

Selaras dengan analisis tersebut, penelitian-penelitian telah menemukan bahwa kejadian depresi telah meningkat dalam 50 tahun terakhir.8 Tingkat kecemasan rata-rata juga melonjak secara mendasar dalam beberapa dasawarsa terakhir.9

Sulit dikatakan apakah "kelebihan-beban pilihan" itu merupakan penjahat utama yang melandasi kecenderungan-kecenderungan tersebut. Namun, jelas bahwa meningkatnya kebebasan untuk memilih itu tidak menghasilkan peningkatan kesentosaan atau pun peningkatan kesehatan mental.

[Mengendalikan Alam:] Maju

Teknologi modern telah secara bertahap memberi kita pengendalian yang sebelumnya tidak ada terhadap dunia di sekitar kita. Kemajuan-kemajuan pada pertanian telah secara dramatis melejitkan produksi makanan, sedangkan bioteknologi mengemukakan klaim bahwa hasil panen yang dimodifikasi secara genetik akan menjadikan penyediaan pangan kita lebih andal daripada sebelumnya. Sistem-sistem suplai air yang canggih, yang terbuat dari ratusan kilometer kanal, terowongan, dan pipa saluran, bersama-sama dengan bendungan, waduk, dan gardu pompa, memungkinkan tumbuhnya kawasan-kawasan metropolitan yang padat di padangpasir-padangpasir yang gersang. Berkat kemajuan kedokteran, para dokter dapat melekatkan kembali tungkai lengan yang sakit parah, menggunakan laser untuk membetulkan kerusakan mikroskopik pada mata, dan bahkan mengganti jantung manusia.

[Alam Tak Terkendali:] Mundur

Sayangnya, teknologi modern itu juga berdampak negatif secara ganas terhadap lingkungan kita. Teknologi modern itu turut menimbulkan pemanasan global, pengikisan lapisan ozon, penggundulan hutan, perongrongan industri perikanan, penyebaran polusi air dan udara, dan pembiaran tanaman dan hewan untuk terkena racun kimiawi.

Banyak pakar merasa khawatir bahwa dalam beberapa generasi, sumberdaya-sumberdaya bumi akan terlalu hampa untuk melestarikan kualitas kehidupan yang memadai. Bagi kebanyakan orang, krisis-krisis tersebut terdengar seperti masalah-masalah teknis yang menuntut jawaban-jawaban teknologis, tetapi krisis-krisis tersebut juga merupakan masalah-masalah perilaku yang dikobarkan oleh konsumsi yang berlebihan dan pemborosan.10

Di Amerika Utara dan Eropa, masalah krusialnya adalah berlebihannya konsumsi sumberdaya alam kita. Kitzes dan kawan-kawan mengemukakan, "Jika setiap orang di dunia memiliki jejak ekologis yang setara dengan jejak khas Amerika Utara atau Eropa Barat, maka masyarakat global melampaui kapasitas biologis planet ini sebesar tiga sampai lima kali lipat."11

[Analisis "Paradoks Kemajuan Teknologi"]

Semua kontradiksi tersebut mencerminkan tema yang sama: Kemajuan teknologi selama ini, walau mungkin mengesankan, belum mengarah ke peningkatan kesehatan dan kebahagiaan kolektif kita. Bahkan, banyak kritikus sosial berargumentasi bahwa kualitas kehidupan kita dan kepuasan pribadi kita telah lebih cenderung menurun daripada meningkat. Inilah paradoks kemajuan teknologi.

Apa penyebab paradoks ini? Banyak penjelasan telah disodorkan. Alvin Toffler menyebut bahwa penyebabnya adalah keterasingan dan ketertekanan kolektif lantaran dibanjiri oleh perubahan kultural yang melaju secara cepat.12 Robert Kegan menegaskan bahwa tuntutan mental kehidupan modern telah menjadi begitu rumit, membingungkan, dan kontradiktif, sehingga sebagian besar dari kita "berada di ujung tanduk".13 Tim Kasser menduga bahwa materialisme yang berlebihan melonggarkan ikatan sosial yang menyatukan kita, memicu kegelisahan, dan mengikis rasa-sejahtera kolektif kita.14

Micki McGee menyiratkan bahwa perubahan peran gender, berkurangnya stabilitas pekerjaan, dan kecenderungan-kecenderungan sosial modern lainnya memupuk obsesi pengembangan-diri yang akhirnya mengikis rasa-aman individu-individu dan mengikis kepuasan mereka terhadap identitas mereka.15 Menurut McGee, "budaya perombakan" (makeover culture) menyuburkan keyakinan bahwa kita mampu memperbarui diri kita sebagaimana yang dibutuhkan, tetapi asumsi ini dapat menciptakan tekanan yang dahsyat terhadap orang-orang yang cenderung lebih "mengobarkan daripada memadamkan kecemasan mereka".16

Sherry Turkle menegaskan bahwa dalam dunia modern kita yang berjaringan digital, kita mencurahkan lebih banyak waktu pada teknologi daripada [interaksi kita] satu sama lain. Walau orang-orang mengoleksi "teman" di Facebook, tercatat bahwa orang-orang itu memiliki lebih sedikit teman daripada sebelumnya.17 Rasa kesepian dan keterkucilan yang dihasilkan itu memang semakin membuat orang-orang itu bergantung pada komunikasi maya di internet, seraya membiarkan bertambahnya jumlah orang yang menderita lantaran kekurangan hubungan akrab.

Namun, apa pun penjelasan mengenai penyebab paradoks kemajuan teknologi, para pakar dari berbagai perspektif sepakat bahwa tantangan kehidupan modern kini yang mendasar ialah pencarian makna hidup, arah hidup, dan falsafah hidup pribadi.18 Pencarian ini mencakup pergulatan dengan masalah-masalah seperti pembentukan rasa identitas yang kokoh, pemerolehan perangkat nilai yang koheren, dan pengembangan visi yang gamblang tentang masa depan yang secara realistis menjanjikan ketercapaian.

Berabad-abad yang lalu, masalah-masalah semacam itu mungkin jauh lebih sederhana. Sebagaimana yang akan kita kaji di artikel mendataang, "Pencarian Arah Hidup", kini tampaknya ada banyak dari kita yang tenggelam di lautan kebingungan.

Catatan

Diterjemahkan dari buku kuliah Weiten-Dunn-Hammer, Psychology Applied to Modern Life, Edisi 11 (Cengage Learning, 2015), Bab 1, "Adjusting to Modern Life", hlm. 1-3. Terjemahan bab ini dijadikan bagian dari materi kuliah kita, Pengantar Psikologi Terapan.

Rujukan "Paradoks Kemajuan Modern"

  1. Peter Whybrow, American Mania: When more is not enough (New York: Norton, 2005), hlm. 158.
  2. JK Walsh, WC Dement, & DF Dinges, "Sleep Medicine, Public Safety, and Public Health" dalam MH Kryger, T Roth, & WC Dement (Editor), Principles and Practice of Sleep Medicine, 5th Edition (Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011).
  3. S Banks & DF Dinges, "Chronic Sleep Deprivation" dalam MH Kryger, T Roth, & WC Dement (Editor), Principles and Practice of Sleep Medicine, 5th Edition (Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011), hlm. 67-75.
  4. Barry Schwartz, The Paradox of Choice: Why more is less (New York: Ecco, 2004).
  5. CM White & U Hoffrage, "Testing the Tyranny of Too Much Choice against the Allure of More Choice" dalam Psychology and Marketing, 26 (2009), hlm. 280-298.
  6. KD Vohs et al., "Making Choices Impairs Subsequent Self-Control: A limited-resource account of decision making, self-regulation, and active initiative" dalam Journal of Personality and Social Psychology, 94 (2008), hlm. 883-898.
  7. Barry Schwartz, Op. Cit.
  8. Brandon H Hidaka, "Depression as A Disease of Modernity: explanations for increasing prevalence" dalam Journal of Affective Disorders, 140 (2012), hlm. 205-214.
  9. Jean M. Twenge, "The Age of Anxiety? Birth cohort change in anxiety and neuroticism, 1952–1993" dalam Journal of Personality and Social Psychology, 79 (2000), hlm. 1007–1021 dan "Generational Differences in Mental Health: Are children and adolescents suffering more, or less?" dalam American Journal of Orthopsychiatry, 81 (2011), hlm. 469–472.
  10. Susan M Koger & Deborah DuNann Winter, The Psychology of Environmental Problems: Psychology for sustainability, 3rd Edition (Psychology Press, 2010).
  11. J Kitzes et al. "Shrink and share: Humanity’s present and future ecological footprint" dalam Philosophical Transactions of the Royal Society of London, Series B, Biological Sciences, 363 (2008), hlm. 468.
  12. Alvin Toffler, The Third Wave (New York: Bantam Books, 1980).
  13. Robert Kegan, In Over Our Heads: The mental demands of modern life (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1994).
  14. Tim Kasser, The High Prices of Materialism (Cambridge, MA: MIT Pres, 2002).
  15. Micki McGee, Self-Help, Inc.: Makeover culture in American life (New York: Oxford University Press, 2005).
  16. Ibid., hlm. 17.
  17. Sherry Turkle, Alone Together: Why we expect more from technology and less from each other (New York: Basic Books, 2011).
  18. SK Dolby, Self-help books: Why Americans keep reading them (Urbana: University of Illinois Press, 2005); RA Emmons, "Personal Goals, Life Meaning, and Virtue: Wellsprings of a positive life" dalam CLM Keyes & J Haidt (Editor), Flourishing: Positive psychology and the life Well-Lived (Washington, DC: American Psychological Association, 2003); L Sagiv, S Roccas, & O Hazan, "Value Path-Ways to Well-Being: Healthy values, valued goal attainment, and environmental congruence" dalam PA Linley & S Joseph (Editor), Positive Psychology in Practice (New York: Wiley, 2004).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selanjutnya Posting Lebih Baru